Di sepak bola modern, nama-nama besar di posisi tengah sering dikaitkan dengan kreativitas, assist, atau gol. Tapi kadang, ada pemain yang gak perlu headline atau hype buat bisa jadi fondasi tim juara. Salah satu contohnya adalah Fabinho Tavares—gelandang jangkung dari Brasil yang jadi tulang punggung Liverpool selama era kejayaan mereka bersama Jurgen Klopp.
Dia gak banyak gaya. Gak cari sorotan. Tapi saat dia absen, lo langsung kerasa: tim gak seimbang, lini belakang kerepotan, lini tengah kebobolan shape. Itulah Fabinho. Pemain yang jarang disorot, tapi vitalnya kebangetan.
Asal-Usul: Bukan dari Flamengo atau Santos, Tapi… Fluminense
Fabinho lahir 23 Oktober 1993 di Campinas, Brasil. Dia bukan produk akademi besar kayak Neymar atau Vinícius Jr. Justru awalnya gak dianggap sebagai talenta elite di negaranya sendiri.
Dia memulai karier di Fluminense, tapi belum sempat tampil buat tim senior, langsung cabut ke Eropa. Destinasi pertamanya? Rio Ave di Portugal. Tapi sebelum sempat main juga, dia dipinjamkan ke Real Madrid Castilla—dan dari sinilah kariernya mulai nyala.
Real Madrid: Debut, Tapi Gak Dilirik
Di Real Madrid, Fabinho main untuk tim B dan hanya sekali tampil di tim utama. Tapi satu laga itu cukup berkesan: dia nyumbang assist untuk Angel Di María. Sayangnya, Madrid gak melihatnya sebagai proyek jangka panjang.
Akhirnya, dia cabut ke Monaco di Prancis. Di sinilah transformasi besar terjadi.
Monaco: Dari Bek Kanan ke Gelandang Bertahan
Waktu awal di Monaco, Fabinho main sebagai right-back. Tapi pelatih Leonardo Jardim ngelihat sesuatu yang beda. Fabinho punya:
- Visinya bagus
- Tackling bersih
- Stamina gak ada habisnya
- Dan yang penting: sense of position yang luar biasa
Akhirnya dia ditarik ke tengah jadi gelandang bertahan, dan langsung sukses. Dia jadi bagian penting dari skuad Monaco yang isinya bocah-bocah berbakat:
- Mbappé
- Bernardo Silva
- Thomas Lemar
- Bakayoko
Mereka sukses juara Ligue 1 2016/17 dan masuk semifinal Liga Champions. Fabinho? Jadi motor pengaman buat semua pemain ofensif itu bebas eksplor.
Liverpool: Klopp Butuh Gelandang Bertahan, Fabinho Datang
Tahun 2018, setelah Liverpool kalah dari Real Madrid di final UCL, Klopp sadar dia butuh pemain yang jaga keseimbangan. Gelandang bertahan murni, bukan sekadar gelandang box-to-box.
Fabinho dibeli dari Monaco dengan harga sekitar £40 juta. Dan meskipun sempat butuh waktu adaptasi, begitu nyetel—dia langsung jadi kunci.
Di Liverpool, Fabinho:
- Main sebagai pivot tunggal di formasi 4-3-3
- Jadi perisai di depan Van Dijk dan Alisson
- Ngatur ritme dari tengah, kayak “menara kontrol”
- Sering bantu build-up dari belakang
- Jarang salah posisi
Julukan “The Lighthouse”: Simbol Peran Diam-Diamnya
Jurgen Klopp pernah bilang:
“Dia itu seperti lighthouse. Dia diam, tapi semua orang ngarah ke dia. Dia jadi patokan di tengah.”
Dan itu akurat banget. Fabinho bukan pemain flashy. Tapi:
- Dia selalu di posisi yang benar
- Dia nge-press di waktu yang tepat
- Dia bikin lawan males eksplorasi tengah
Kalau dia ada, Trent bebas maju, Robertson bisa overlap, dan Henderson tinggal support. Tapi kalau dia absen? Semua itu jadi goyah.
Masa Keemasan: Juara Premier League dan Liga Champions
Fabinho jadi pilar tim Liverpool yang:
- Juara Liga Champions 2019
- Juara Premier League 2019/20
- Juara FA Cup dan Piala Liga
- Menang UEFA Super Cup dan Piala Dunia Antarklub
Dan performanya nyaris selalu stabil. Meski gak banyak cetak gol, kontribusinya terlihat dari:
- Rata-rata 3+ tekel per laga
- 90%+ passing success rate
- 10+ ball recoveries per pertandingan
- Intersep dan blok di momen krusial
Versatilitas: Main Jadi CB? No Problem
Waktu Liverpool krisis bek tengah musim 2020/21 (Van Dijk, Gomez, Matip cedera semua), Fabinho dimainin jadi centre-back. Dan dia main solid.
Meski bukan posisi aslinya, dia nunjukin:
- Dia ngerti sistem pertahanan
- Tenang walau ditekan
- Tetap bisa bantu build-up dari belakang
Gelandang yang bisa main di posisi krisis dan tetap perform, itu nilai emas.
Penurunan dan Transisi ke Al Ittihad
Masuk musim 2022/23, performa Fabinho mulai menurun. Gak anjlok, tapi gak setajam dulu. Umur, kelelahan, dan perubahan sistem bikin dia kehilangan edge-nya.
Musim panas 2023, Liverpool mulai rombak lini tengah. Fabinho akhirnya dijual ke Al Ittihad (Arab Saudi) dengan harga sekitar £40 juta. Klub barunya ini lagi ngumpulin bintang-bintang:
- Karim Benzema
- N’Golo Kanté
- Jota
Meski pindah ke liga yang levelnya beda, Fabinho tetap jadi bagian utama proyek. Di Al Ittihad, dia tetap jadi DM utama, ngerakit permainan dan jaga kedalaman.
Timnas Brasil: Bintang Bayangan di Era Casemiro
Sayangnya buat Fabinho, timnas Brasil punya nama besar lain di posisinya: Casemiro. Jadi meski dia konsisten di klub, peran di timnas lebih banyak sebagai cadangan atau pemain rotasi.
Tapi dia tetap jadi bagian skuad:
- Copa América
- Kualifikasi Piala Dunia
- Beberapa laga besar sebagai starter
Pelatih tetap percaya karena gaya mainnya aman dan bisa diandalkan.
Karakter: Pemimpin Kalem dan Profesional Banget
Fabinho bukan tipikal pemain ribut. Gak pernah ada drama, gak pernah nuntut spotlight. Di ruang ganti Liverpool, dia dikenal:
- Serius tapi santai
- Fokus ke kerja tim
- Gak banyak protes
Dia jadi contoh buat pemain muda: lo gak harus teriak-teriak buat dihormati. Lo cukup konsisten, stabil, dan loyal ke sistem.
Legacy dan Masa Depan
Fabinho mungkin sekarang udah gak main di level tertinggi Eropa, tapi jejaknya jelas:
- Salah satu gelandang bertahan terbaik Premier League era 2018–2022
- Salah satu pembelian terbaik Liverpool di bawah Klopp
- Pemain kunci dalam sistem pressing dan transisi modern
Dan siapa tahu, kalau Al Ittihad buka pintu pinjaman balik ke Eropa (kayak yang dilakukan beberapa pemain top Arab Saudi), Fabinho bisa comeback ke EPL atau Serie A. Usianya masih 30. Masih ada bensin di tangki.
Penutup: Fabinho Itu Gak Pernah Mencolok, Tapi Selalu Krusial
Fabinho bukan nama yang trending tiap minggu. Tapi kalau kamu nonton sepak bola serius, kamu tahu:
Tim besar butuh fondasi, dan Fabinho adalah fondasi.
Dia bukan si pembuat keajaiban. Tapi dia bikin keajaiban bisa terjadi.
Dan meski sekarang main di Timur Tengah, jejaknya di Liverpool dan Eropa gak akan gampang dilupakan. Karena di setiap tim besar yang sukses, pasti ada satu pemain seperti dia: diam-diam mengatur semuanya.